19
Pelaksanaan Diversi Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Anak Oleh Unit Perlindungan Perempuan Anak (PPA) di Polres Malang
Fajar Santosa, S.H., M.H; Arif Wicaksono, S.H.; Luluk Lukita.
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Indonesia (LBHMI) Kota Malang
Abstrak
Penelitian Pelaksanaan Diversi Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Anak Oleh Unit Perlindungan Perempuan Anak (PPA) di Polres Malang oni bertujuan untuk mendiskripsikan pelaksanaan penegakan hukum melalui pelaksanaan diversi dalam penanganan perkara tindak pidana anak di Polres Malang, dan untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi Polres Malang Kota dalam pelaksanaan diversi dalam penanganan perkara tindak pidana anak. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan penegakan hukum melalui diversi dalam penanganan tindak pidana anak di Polres Kota Malang telah berjalan sesuai dengan prosedur peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan melibatkan berbagai instansi terkait yaitu: Badan Pemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan sehingga anak yang berhadapan dengan hukum dapat menjamin perlindungan kepentingan anak. Polres Kota Malang dalam hal ini unit Perlindungan Perempuan Anak dalam melakukan penegakan hukum melalui diversi tidak menemui hambatan yang berarti oleh karena semua prosedur peraturan perundang-undangan dijalankan dan selalu bersinergi dengan instansi terkait.
Pendahuluan
Latar Belakang
Diversi pada Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berlaku sejak tanggal 31 Juli 2014. Konsep diversi dimaksudkan agar terwuud peradilan yang benar-benarmenjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak. UU Sistem Peradilan Pidana Anak dibentuk berdasarkan beberapa pertimbangan ialah: bahwa anak merupakan amanah dan karuia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya; (2) Bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus terutama perlindungan hukum dakam sistem peradilan; (3) Bahwa Indonesia sebagai Negara pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Penegakan hukum di negara manapun di seluruh dunia membutuhkan institusi kepolisian. Keberadaan Kepolisian bertugas mewakili negara dalam menerapkan dan menjaga penerapan hukum pada seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Indonesia, menurut Barda Nawawi Arief, bahwa Polri dalam menjalankan tugasnya berperan ganda baik sebagai penegak hukum maupun sebagai pekerja sosial (social worker) pada aspek social dan kemasyarakatan.1
Pasal 29 UU Sistem Peradilan Pidana anak secara jelas memberikan amanah kepada penyidik wajib mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai.
Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2022 dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Polri sebagai fungsi pemerintahan meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hu kum, perlindungan dan pengayoman serta pelayanan kepada masyarakat yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Mempertimbangkan latar belakang tersebut diatas, bahwa penanganan tindak pidana melalui pendekatan keadilan restorative telah menjadi hukum positif, maka Tim Peneliti merumuskan judul penelitian Pelaksanaan Diversi Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Anak Oleh Unit Perlindungan Perempuan Anak (PPA) di Polres Malang Kota.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana pelaksanaan diversi dalam penanganan perkara tindak pidana anak yang dilakukan oleh Unit Perlindungan Perempuan anak di Polres Malang Kota?
Bagaimana kendala yang dihadapi polres Malang dalam melakukan penegakan hukum melalui pelaksanaan diversi dalam penanganan perkara tindak pidana anak di Polres Malang?
Tujuan dan Kegunaan Penelitian.
Tujuan.
Untuk mendiskripsikan pelaksanaan penegakan hukum melalui pelaksanaan diversi dalam penanganan perkara tindak pidana anak di Polres Malang
Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi Polres Malang Kota dalam pelaksanaan diversi dalam penanganan perkara tindak pidana anak.
Kegunaan
Sebagai bahan masukan kebijakan penegakan hukum terutama oleh kepolisian melalui pelaksanaan diversi dalam penanganan perkara tindak pidana anak.
Sebagai bahan referensi bagi Organisasi Bantuan Hukum dalam menjalankan tugas pemberian bantuan hukum terutama pada tahapan penyidikan terhadap perkara tindak pidana anak.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris atau penelitian hukum lapangan yaitu mengkaji ketentuan hukum yang berlaku serta apa yang terjadi kenyataannya dalam masyarakat.2 Menurut Muhammad, penelitian empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi hukum positif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.3
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari sumber pertama yaitu jajaran kepolisian Polresta Malang unit PPA reskrim dengan metode wawancara secara terstruktur terkait proses penegakan hukum dalam penanganan perkara tindak pidana anak melalui pendekatan diversi. Data sekunder diperoleh dari sumber kepustakaan baik peraturan hukum terkait: KUHAP, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun pendapat para ahli yang relevan dengan pelaksanaan restorative justice terhadap perkara pidana di tingkat kepolisian.
Teknik analisis data dilakukan dengan proses pemeriksaan, meneliti data yang diperoleh untuk menjamin apakah data dapat dipertanggungjawabkan secara kenyataan. Setelah data diolah disajikan dalam bentuk narasi dan tabel, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggambarkan dan mengintepretasikan data secara keseluruhan sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gambaran pelaksanaan penegakan hukum melalui pendekatan restorative justice di Polresta Malang Kota .
Tempat Penelitian.
Tempat Penelitian di Kantor Kepolisian Resort Kota Malang Kota di jalan Jaksa Agung Suprapto Kota Malang
II. TINJAUAN / DATA KEPUSTAKAAN
A. Tugas dan Wewenang Polri dalam Penyelidikan dan Penyidikan
Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga semua memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum.
Menurut Friedman, efektifitas bekerjanya hukum ditentukan oleh faktor struktur atau kelembagaan sebagai kerangka dasar dari suatu sistem hukum, substansi hukum yang terdiri dari aturan yang bersifat materiil dan formil, dan budaya hukum yang terkait dengan nilai-nilai atau pandangan masyarakat termasuk perilaku aparat dalam suatu sistem hukum. Menurut Chaeruman Harahap yang dikutip oleh Ari Yusuf Faisal, terdapat beberapa faktor yang menjadi hambatan penegakan supremasi hukum di Indonesia, diantaranya adalah: belum sempurnanya perangkat hukum; penegak hukum belum profesional (kecakapan, keterampilan, dan problem intelektual); penghasilan aparat hukum yang dinilai belum memadai; masih rendahnya kesadaran hukum baik dari masyarakat pencari keadilan maupun aparat penegak hukum; kurangnya sarana dan prasarana penegakan hukum; adanya campur tangan dari kekuasaan dalam proses peradilan.
Mengacu pada UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, pasal 13 UU Kepolisian memberi tegasan bahwa Polri bertugas: memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Peran sebagai penegak hukum adalah peran yang paling penting karena menjadi standar maju mundurnya aspek hak asasi manusia di suatu negara.
Konsep adil adalah konsep yang melekat erat dalam penegakan hukum yang ideal. Konsep adil mesti diterjemahkan dalam penegakan hukum harus memperlakukan setiap orang sama di hadapan hukum (equality before the law), hukum harus menjadi alat tertinggi dalam mencapai keadilan (supremasi of law) dan konsep beradap yang mensyaratkan penegakan hukum harus menghargai hak asasi manusia.
Pemikiran hukum modern yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch berusaha mengkombinasikan tiga pandangan klasik (filosofis, normatif dan empiris) menjadi satu pendekatan dengan masing-masing pendekatan dijadikan sebagai unsue pokok dan menjadi dasar pendekatan hukum yang kemudian dikenal sebagai tiga nilai dasar hukum yang meliputi keadilan (filosofis), kepastian hukum (juridis) dan kemanfaatan bagi masyarakat (sosiologis). Gustav Radbruch memulai dengan pandangan yang menyatakan bahwa masyarakat dan ketertiban memiliki hubungan yang sangat erat sebagai dua sisi mata uang. Untuk mewujudkan ketertiban itu maka dalam masyarakat selalu terdapat beberapa norma seperti kebiasaan, kesusilaan dan hukum.
B. Diversi Dalam Penegakan Hukum
Diversi dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA) diatur Dalam Bab II pada Pasal 5 sampai Pasal 15. Dalam Pasal 5 ayat (1) UU SPPA disebutkan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Keadilan Restoratif tersebut adalah kewajiban diupayakannya Diversi. Tetapi, dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA terdapat pembatasan mengenai tindak pidana yang boleh dilaksanakannya diversi yaitu tindak pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Sedangkan Pada Bab III yang secara khusus membahas tentang Acara Peradilan Pidana Anak pada pasal 29 UU SPPA menyatakan bahwa:
Penyidik wajib mengupayakan Diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai.
Proses Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya Diversi.
Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penyidik menyampaikan berita acara Diversi beserta Kesepakatan Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.
Dalam hal Diversi gagal, penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke Penuntut umum dengan melampirkan berita acara Diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.
Pasal 29 UU SPPA dalam hal ini secara jelas memberikan amanah kepada penyidik wajib mengupayakan Diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai. Penulis berpendapat bahwa dalam UU SPPA ini terdapat adanya ketidakselarasan pada pengaturan Bab II yang mengatur mengenai Diversi dalam hal tindak pidana anak yang boleh dilakukannya Diversi dengan pengaturan pada Bab III yang mengatur mengenai Acara Peradilan Pidana Anak dan kerangka dasar mengenai konsep Diversi berlaku pengecualian terhadap kasus anak yang ancaman pidanannya diatas 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana, lalu bagaimana dengan anak-anak yang melakukan tindak pidana diatas 7 (tujuh) tahun dan pengulangan tindak pidana? Bukankah semua anak berhak tumbuh dan berkembang yang dalam pemenuhannya tidak boleh dibeda-bedakan? Berdasarkan prinsip non diskriminasi, kesejahteraan merupakan hak setiap anak tanpa terkecuali. Diversi adalah hak setiap anak, sehingga setiap anak yang berkonflik dengan hukum berhak mendapatkan akses untuk memperoleh Diversi.
Dalam Pasal 6 UU SPPA mengatur tentang tujuan Diversi yaitu mencapai perdamaian antara korban dan anak; menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Manual Pelatihan Untuk Polisi menyebutkan tujuan dari Diversi yaitu untuk menghindari penahanan; untuk menghindari cap jahat/label sebagai penjahat; untuk meningkatkan keterampilan hidup bagi pelaku; agar pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya; untuk mencegah pengulangan tindak pidana ; untuk mengajukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan pelaku tanpa harus melalui proses formal; program Diversi akan menghindari anak mengikuti proses-proses sistem pengadilan.
C. Beberapa Teori Pemidanaan yang terkait dengan Diversi
Beberapa teori pemidanaan yang terkait dengan Diversi, sebagai berikut:
1. Teori absolut atau pembalasan (vergeldings theorien).
2. Teori relative atau tujuan (doeltheorien).
3. Teori gabungan (verenigingstheorien).
Teori pertama dianut oleh Immanuel Kant. Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidak lah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar.
Teori kedua ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda: menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan. Lalu dibedakan prevensi umum dan khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik 15 sedangkan prevensi khusus yang dianut oleh Van Hamel (belanda) dan Von Liszt (Jerman) mengatakan bahwa tujuan prevensi khusus ialah mencegah niat buruk pelaku (dader) bertujuan mencegah pelanggar mengulangi perbuatannya atau mencegah pelanggar mengulangi perbuatannya atau mencegah bakal pelanggar melaksanankan perbuatan jahat yang direncanakannya.
Teori ketiga mengenai teori gabungan. Bervariasi antara pembalasan dan prevensi. (1) Pertama, teori yang menitikberatkan unsur pembalasan yang dikembangkan oleh Grotius bahwa teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi berguna bagi masyarakat.(2) Kedua, yang menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunannya juga tidak boleh lebih besar daripada yang seharusnya. (3) Ketiga, teori gabungan yang memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Berdasarkan beberapa teori pemidanaan diatas, maka dapat dikatakan bahwa Diversi memiliki relevansi dengan tujuan pemidanaan anak, yaitu:
Diversi sebagai proses pengalihan dari proses formal ke proses informal yang melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial proprosional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif dan juga melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat dengan memperhatikan kepentingan korban; kesejahteraan dan tanggung jawab anak, penghindaran stigma negatif; penghindaran pembalasan; keharmonisan masyarakat; dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam hal ini berfungsi menghindari anak dari stigmatisasi negatif dari masyarakat yang dapat merusak psikologis anak dalam menjalankan kehidupannya dimasa mendatang dan menghindari anak dari kemungkinan terjadinya transfer kejahatan terhadap anak;
Perampasan kemerdekaan terhadap anak baik dalam bentuk pidana penjara maupun dalam bentuk perampasan yang lain melalui mekanisme peradilan pidana, merupakan gambaran kesedihan anak yang dapat menimbulkan bahaya besar bagi masa depan anak itu sendiri.
Dengan melalui Diversi maka anak terhindar dari proses pemidanaan dan stigma negatif dari masyarakat sekitarnya.
Menurut teori, hukum haruslah membantu manusia berkembang sesuai dengan kodratnya: menjunjung keluhuran martabat manusia, bersifat adil, menjamin kesamaan dan kebebasan, memajukan kepentingan dan kesejahteraan umum. Pada Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “ setiap anak berhak atas kelangsungan atas hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dan diskriminasi”.
III. TINJAUAN / DATA LAPANGAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kantor Polres Malang Kota berada di Jl. Jaksa Agug Suprapto No. 19 Kota Malang. Polres Malang Kota yang membawahi wilayah hukum Kota Malang adalah badan pelaksana utama kewilayahan POLDA Jawa timur yang berkedudukan dibawah Kepala Polda Jawa Timur. Polres Malang Kota memiliki lima Polsek yaitu Polsek Klojen, Polsek Blimbing, Polsek Kedung Kandang, Polsek Lowokwaru, dan Polsek Sukun. Kondisi kekuatan personil Polres Malang Kota saat ini secara kuantitas mencapai 790 orang Polri dan 51 PNS sebagai aset Polres Malang dalam memberikan layanan perlindungan masyarakat dan fungsi penegakan hukum di wilayah Kota Malang.
RESKRIM POLRES MALAG KOTA adalah unsur pelaksana utama pada Polres Malang Kota. Reskrim Polres Malang Kota bertugas menyelenggarakan fungsi penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, dengan memberik pelayanan/perlindungan khusus kepada korban/pelaku serta menyelenggarakan fungsi identifikasi baik untuk kepentingan penyidikan maupun pelayanan umum, dan menyelenggarakan koordinasi dan pengawasan operasional dan administrasi penyidikan PPNS sesuai ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. SatReskrim dipimpin oleh Kepala Satuan Reskrim/Kasat Reskrim yang bertanggungjawab kepada Kepala Polres Malag Kota dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali oleh Wakil Kepala Polres Malang Kota.
Kasat Reskrim Polres Kota Malang saat ini dipimpin oleh Ajun Komisaris Polisi (AKP) Bayu Febriyanto Prayoga, S.H., S.I.K., M.I.K. Secara struktural kasat membawahi beberapa unit yang dipimpin oleh seorang kepala unit yang berikutnya terdiri dari beberapa sub unit yang menaungi anggota para penyidik.
Di Polres Kota Malang terdapat 5 Unit, terdiri dari:
Unit Tindak Pidana Umum (Tipidum)
Unit Tindak Pidana Tertentu (Tipidter)
Unit Perlayanan Perempuan dan Anak (PPA)
Unit Kendaraan Bermotor (Ranmor)
Unit Tindak Pidana Khusus (Tipidsus)
IV. A N A L I S A
DIVERSI DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA ANAK OLEH UNIT PPA DI KEPOLISIAN RESOR MALANG KOTA
Keadilan restorative adalah upaya dari semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu untuk secara bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Ketentuan tentang diversi tersebut diatur secara khusus dalam Pasal 6 sampai Pasal 14 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Diversi hanya dapat dilakukan terhadap anak apabila anak tersebut melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Proses penjatuhan pidana bukanlah solusi terbaik dalam menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan anak. Hal ini sesuai dengan tujuan dari peradilan pidana itu sendiri yakni agar terwujud peradilan pidana yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik anak.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses pidana ke proses di luar pengadilan pidana. Misi ide diversi bagi anak-anak menyediakan sebuah alternatif dengan prosedur resmi beracara di pengadilan untuk memberikan kesempatan kedua bagi pelaku tindak pidana ringan dibawah umur yang pertama kali melakukan, melalui kegiatan yang terprogramkan dan memberikan bentuk pengabdian sosial secara nyata kepada masyarakat. Adapun tujuan utama adalah guna mengarungi resividis dan mewujudkan sosok baru yang bersih dari catatan kejahatan.4
Diversi secara khusus diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 14 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) merumuskan bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan tentang tujuan diversi adalah mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaiakn perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Tujuan diversi tersebut merupakan implementasi dari keadilan restoratif yang berupaya mengembalikan pemulihan terhadap sebuah permasalahan, bukan sebuah pembalasan yang selama ini dikenal dalam hukum pidana.23
Selanjutnya dalam Pasal 7 Ayat (2) dijelaskan bahwa diversi hanya dilaksanakan apabila perbuatan pidana anak diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan pidana.
Proses diversi ini wajib memperhatikan kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab korban, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.24
Selain dari pertimbangan proses tersebut, Penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim dalam melakukan diversi juga harus mempertimbangkan kategori tindak pidana, umur anak, hasil Penelitian Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan dan dukungan lingkungan keluarga serta masyarakat.
Kemudian syarat kesepakatan diversi ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu:26
Harus mendapat persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya. Hasil kesepakatan Diversi dalam konteks ini dapat berbentuk, antara lain perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/Wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau keikutsertaan dalam pelatihan di lembaga pendidikan atau Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPKS) paling lama 3 (tiga) bulan, atau pelayanan masyarakat.
Tidak harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat. Terhadap aspek ini, kesepakatan Diversi dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat. Kemudian kesepakatan Diversi bentuknya dapat berupa pengembalian kerugian dalam hal ada korban, rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan kembali kepada orang tua/Wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di Lembaga pendidikan atau Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPKS) paling lama 3 (tiga) bulan, atau pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
Pengawasan pada proses Diversi dan pelaksaan kesepakatan yang dihasilkan berada pada atasan langsung pejabat yang bertanggung jawab pada setiap tingkat pemeriksaan. Selama proses diversi berlangsung sampai kesepakan diversi dilaksanakan, Pembimbing Kemasyarakatan wajib melakukan pendampingan, pembimbingan dan pengawasan. Dalam hal kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan dalam waktu yang ditentukan, Pembibing Kemasyarakatan segera melaporkannya kepada pejabat yang bertanggung jawab sesuai tingkat pemeriksaan, dan pejabat tersebut yang bertanggung jawab wajib menindak lanjuti laporan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari.
Adapun langkah-langkah Diversi pada tahap Penyidikan yang dilakukan oleh jajaran Polresta Malang sebagai berikut5:
Setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan, kemudian dibuat laporan Polisi, maka penyidik wajib bersurat untuk meminta pertimbangan dan saran tertulis dari petugas Pembimbing Kemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan (BAPAS).
Hasil Penelitian Kemasyarakatan wajib diserahkan oleh BAPAS kepada penyidik dalam waktu paling lama 3x24 Jam setelah permintaan penyidikan diterima.
Penyidik wajib mulai mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah penyidikan dimulai dan proses Diversi paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya Diversi.
Apabila pelaku maupun korban setuju untuk dilakukan diversi maka polisi, Pembimbing Kemasyarakatan, BAPAS dan pekerja sosial Profesional melalui proses musyawarah penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak terkait, dimana proses musyawarah penyelesaian perkara tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya Diversi. Akan tetapi, apabila pelaku atau korban tidak mau dilakukan Diversi maka penyidikan perkara tersebut dilanjutkan, dibuatkan Berita Acara Penyidikan dan perkara dilimpahkan ke Penuntut Umum.
Apabila Diversi berhasil dimana para pihak mencapai kesepakatan, hasil tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi. Hasil kesepakatan Diversi tersebut disampaikan oleh atasan pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke Pengadilan Negeri sesuai dengan hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan. Kemudian pengadilan mengeluarkan Penetapan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak diterimanya kesepakatan Diversi. Penetapan tersebut disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan tersebut Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan.
Apabila Diversi gagal, Penyidik membuat Berita Acara Diversi dan Wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan Berita Acara Diversi dan Laporan Penelitian Masyarakat dari Petugas Pembimbing Kemasyarakatan/Bapas.
Kendala yang dihadapi polres Malang dalam melakukan penegakan hukum melalui pelaksanaan diversi dalam penanganan perkara tindak pidana anak di Polres Malang.
Dalam melakukan penegakan hukum melalui pelaksanaan diversi dalam penangaan perkara tindak pidana Polres Malang relatif tidak menemui kendala yang berarti. Selama ini proses penegakan hukum melalui pelaksanaan diversi dilakukan sesuai prosedur peraturan perundangan yang berlaku dengan melakukan sinergi yang baik bersama instansi terkait terutama dari Balai Pemasyarakatan maupun Pembimbing Kemasyarakatan.
Kedepan sinergi diharapkan lebih terbangun dengna instansi terkait sehingga diharapkan fungsi pelayanan masyarakat dan penegakan hukum dari kepolisian akan lebih bisa dioptimalkan.
V. PENUTUP
Kesimpulan
Pelaksanaan penegakan hukum melalui diversi dalam penanganan tindak pidana anak di Polres Kota Malang telah berjalan sesuai dengan prosedur peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan melibatkan berbagai instansi terkait yaitu: Badan Pemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan sehingga anak yang berhadapan dengan hukum dapat menjamin perlindungan kepentingan anak;
Polres Kota Malang dalam hal ini unit Perlindungan Perempuan Anak dalam melakukan penegakan hukum melalui diversi tidak menemui hambatan yang berarti oleh karena semua prosedur peraturan perundang-undangan dijalankan dan selalu bersinergi dengan instansi terkait.
Saran
Agar Polres Malang tetap mempertahankan kinerja terbaiknya dalam melakukan penegakan hukum melalui diversi terhadap anak yang berhadapan hukum.
19
TINJAUAN PUSTAKA
Abdul Kaditr Muhamad, Hukum dan penelitian Hukum, Bandung, Citra Adiyta Bakti, 2004
Candra Hayatul Iman, Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 3 November 2013.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta, 2012
Riyanto Ulil Anshar dkk Tugas dan Fungsi Polisi Sebagai Penegak Hukum dalam Perspektif Pancasila, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Volume 2, Nomor 3 tahun 2020, Prodi magister Ilmu Hukum Fakulytas Hukum Universitas Diponegoro.
Riyanto Ulil Anshar dkk Tugas dan Fungsi Polisi Sebagai Penegak Hukum dalam Perspektif Pancasila, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Volume 2, Nomor 3 tahun 2020, Prodi magister Ilmu Hukum Fakulytas Hukum Universitas Diponegoro.
Suharsimi arikunto, 2012, Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 126
Abdul Kaditr Muhamad, 2004, Hukum dan penelitian Hukum, Bandung, Citra Adiyta Bakti, hlm. 134
Candra Hayatul Iman, Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Anak dalam Pembaruan Sistem Peradilan Anak di Indonesia, h.370.
Wawancara dengan Aipda Yana Rifika dari s PPA Polres Malang Kota pada tanggal 5 Mei 2024 di Kantor Polresta Malang