Menuju Sistem Peradilan Pidana yang Efisien, Adil, dan Terpadu
Revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang saat ini masih mengacu pada UU No. 8 Tahun 1981, menjadi langkah krusial dalam mewujudkan sistem peradilan pidana nasional yang lebih adaptif dan responsif terhadap dinamika zaman. Setelah lebih dari empat dekade diberlakukan, KUHAP dinilai tidak lagi memadai dalam menjawab kompleksitas hukum modern dan kebutuhan masyarakat akan keadilan yang bermartabat.
Menurut Dr. Prim Haryadi, S.H., M.H., Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI, reformasi KUHAP bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak yang harus segera dijawab oleh negara.
Mengapa KUHAP Perlu Direvisi?
Terdapat sejumlah alasan kuat mengapa KUHAP harus direformulasi:
Usia regulasi yang sudah 43 tahun, tidak sejalan lagi dengan realitas praktik hukum dan perkembangan sosial.
Kekosongan hukum acara dalam berbagai kasus modern mendorong lahirnya aturan alternatif seperti PERMA dan SEMA.
Tidak adanya pengaturan khusus terhadap korban, menjadikan posisi korban lemah dalam proses peradilan.
Perkembangan teknologi informasi dan cybercrime belum diakomodasi secara memadai.
Putusan Mahkamah Konstitusi dan ratifikasi konvensi internasional menuntut adanya penyesuaian hukum nasional.
Berlakunya KUHP 2023 pada 2026, yang menuntut sinkronisasi sistem hukum acara secara komprehensif.
Tantangan Akibat UU Khusus
Seiring berjalannya waktu, banyak undang-undang sektoral yang menciptakan hukum acara pidana tersendiri, seperti:
UU Tipikor, UU Narkotika, UU Terorisme
UU ITE, UU TPPO, UU PKDRT
UU Perikanan, UU Lingkungan Hidup
Setiap UU tersebut menghadirkan "bentuk kekhususan", mulai dari alat bukti elektronik, pengadilan in absentia, hingga perlindungan khusus untuk korban dan teknik penyidikan khusus. Sayangnya, KUHAP lama tidak cukup fleksibel untuk merespons ragam pengaturan ini.
Substansi Baru dalam RUU KUHAP
RUU KUHAP hadir dengan substansi yang lebih progresif dan berorientasi pada keadilan substantif. Beberapa poin penting di antaranya:
Restorative justice di semua tahap: penyidikan, penuntutan, hingga persidangan.
Penerapan plea bargaining untuk efisiensi perkara.
Perjanjian penundaan penuntutan untuk perkara korporasi.
Hak korban diperkuat dengan skema restitusi, rehabilitasi, dan kompensasi.
Pengakuan bukti elektronik dan digital sebagai alat bukti yang sah.
Praperadilan yang diperluas, termasuk pelibatan pihak ketiga yang berkepentingan.
Dominis litis: memperjelas posisi Jaksa Penuntut Umum sebagai pengendali perkara.
Pengadilan terhadap korporasi secara spesifik diatur, termasuk mekanisme pemanggilan dan pemidanaan.
Tantangan dalam Penyusunan RUU KUHAP
Meskipun substansi RUU KUHAP telah menyentuh banyak pembaruan, terdapat beberapa isu yang masih perlu pembahasan lebih lanjut:
Penyelarasan konsep “alat bukti petunjuk” yang dihapus namun dipakai secara implisit.
Penghapusan alasan PK karena kekhilafan hakim, dinilai berisiko mengurangi hak terpidana.
Hubungan antara penyitaan perdata dan pidana, yang belum diatur tuntas.
Ketentuan teknis praperadilan dan penangguhan penahanan masih minim rincian.
Perlu adanya pasal penghubung (bridging article) yang menjembatani aturan dalam KUHAP dengan UU sektoral agar tidak tumpang tindih.
Menatap Masa Depan: KUHAP sebagai Pilar Keadilan Modern
Dengan diberlakukannya KUHP 2023 pada 2 Januari 2026, KUHAP baru harus sudah siap agar sinkronisasi sistem pidana dapat berjalan optimal. KUHAP tidak boleh lagi menjadi sekadar aturan prosedural, tetapi harus menjadi bagian dari instrumen keadilan yang menjamin hak semua pihak—termasuk korban, pelaku, dan negara.
Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, "Hukum yang tidak mampu melayani keadilan akan ditinggalkan oleh masyarakatnya." Maka, reformasi KUHAP adalah soal keberanian kita untuk memperjuangkan keadilan yang lebih manusiawi, adaptif, dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.
Reformulasi KUHAP adalah keniscayaan, bukan sekadar agenda legislatif. Ini adalah bagian dari transformasi hukum Indonesia menuju tatanan yang lebih efisien, adil, dan berpihak pada keadilan sejati. Kehadiran KUHAP baru yang harmonis, inklusif, dan responsif diharapkan menjadi tonggak penting dalam mewujudkan negara hukum yang sesungguhnya.


